Showing posts with label Perjalanan Hidup. Show all posts
Showing posts with label Perjalanan Hidup. Show all posts

Bendera Jepang di Mesir

Wednesday, June 24, 2009




Percayakah Anda, bahwa saya pernah menyaksikan darah perawan seorang gadis Mesir di malam pengantinnya? Percayakah Anda, bahwa darah itu masih segar, dan saya saksikan hanya beberapa menit setelah ia menetes dari 'sumbernya'? Satu lagi, percayakah Anda, bahwa ternyata darah keperawanan seorang gadis Mesir itu dicipratkan ke sehelai kain putih, lalu dipamerkan keliling khayalak ramai di malam pesta perkawinan dengan penuh kebanggaan?

Barangkali, pembaca takkan percaya jika belum menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Saya juga baru yakin dengan haqul yakin, bukan lagi 'ilmal yaqin, setelah sebuah pesta perkawinan yang berlangsung di lapangan halaman depan apartemenku berakhir, kemaren lalu.

Pola hidup sederhana, rupanya diterapkan oleh orang Mesir dalam hampir semua sisi kehidupan. Termasuk dalam pesta perkawinan. Sering saya menyaksikan malam pesta mereka, hanya digelar di sebuah halaman sempit, dihiasi lampu warna-warni, puluhan kursi yang berhadapan, dan tanpa hidangan makanan. Pengantin duduk di kursi dalam posisi agak tinggi, sementara, sehelai tirai beraneka warna menjadi hiasan latar di bagian belakangnya. Tentu saja, persiapannya pun amat singkat, hanya beberapa menit sebelum acara dimulai, serta tidak melibatkan orang banyak.

Ada satu hal yang selalu menjadi ciri khas. Yakni iringan musik Arab dengan sound system besar, suaranya amat memekakkan telinga. Biar pesta tanpa makan parasmanan, atau sekedar minuman ringan, dalam hal musik dan sound system, mereka tak kalah dari acara pesta Agustusan di tanah air. Lagu-lagu popular Arab berirama remix alias disco yan menggema ke seluruh penjuru kampung, akan menjadi isyarat adanya pesta kawinan.

Selama musim panas tahun ini, setidaknya seminggu sekali, saya menyaksikan pesta semacam itu, di lapangan depan apartemenku. Begitu juga pada malam kemaren itu. Bersama kawan serumah, saya nongkrong di jendela kamar yang sengaja dibuka lebar. Usai shalat Isya, beberapa orang panitia nampak membereskan kursi, memasang lampu, serta sound system. Tak sampai setengah jam kemudian, irama lagu Arab terdengar menggelegar. Orang-orang mulai berkumpul, pengantin pun segera tiba. Tidak ada acara resmi, meski sekedar sambutan pihak keluarga atau lantunan ayat Al Quran. Tetapi, acara dimulai dengan irama shalawat dan bacaan Asmaul Husna, itupun dari tape recorder.

Saat lagu Asmaul Husna berkumandang, suasana berubah tenang, dan semua orang terdiam. Khusyu. Kemudian, acara dilanjutkan dengan akad nikah. Kedua mempelai, wali, saksi dan penghulu, nampak duduk berhadapan. Di belakangnya, puluhan orang berjejal berdiri.

Akad nikah juga tidak lama, tanpa acara lain semisal bacaan ta'lik talak, ceramah khutbah nikah dari penghulu, atau makan bersama, lalu pengantin rebutan bakakak (ayam bakar), sebagaimana dalam tradisi Sunda. Usai akad, musik kembali menyalak, semua orang, tua muda, pria-wanita, tiba-tiba melantai, berjoged ria. Suara zagrudah (lengkingan khas wanita Arab, dengan permainan lidah, diakhiri dengan jeritan kecil, biasa dibunyikan sebagai tanda suka-ria), bersahutan dari sana-sini.

Nah, acara inilah yang selalu jadi pusat perhatian saya, juga kawan-kawan lain. Goyangan pinggul nan erotis para gadis Mesir yang bahenol itu, seolah menjadi acara inti yang selalu dinanti. Saya sering kagum pada mereka, orang-orang Mesir itu. Hampir semua yang hadir, berdiri, bergoyang. Atau setidaknya ikut bertepuk tangan, sembari meliuk-liukkan badan dan kaki. Tarian erotik seorang wanita depan keramaian pesta, bukanlah sesuatu yang dianggap aib, atau sesuatu yang memalukan. Sebaliknya, ia adalah symbol budaya yang dilembagakan, dan tentu saja amat dibanggakan.

Dalam pesta itu, sekelompok anak muda berdiri berpegangan, membentuk lingkaran besar, sementara di tengah-tengah, sang gadis penari, asyik bergoyang. Pengantin juga biasanya digusur untuk ikut menari bersama dalam lingkaran itu. Nah, dalam pesta-pesta seperti inilah, tari perut khas Mesir, yang dimainkan oleh seorang wanita cantik berpakaian minim bin ketat, dengan bagian perut terbuka, biasanya digelar.

Menjelang tengah malam, pengantin mulai masuk rumah. Acara musik suka ria, terus berlanjut. Saya dan kawan-kawan tak beranjak dari jendela kamar. Kebetulan, apartemen yang kami sewa, berada di lantai dasar, sehingga dalam jarak kurang 5 meter, kami bisa menyaksikan tarian-tarian itu. Hiburan gratis seperti ini khan lumayan juga, bisa menjadi penawar duka kala hati merana. Jendela-jendela apartemen tetangga malam itu, juga dipadati penghuninya, untuk sekedar nonton tari perut, atau tarian biasa para gadis manis.

Pembaca, di tengah hingar bingar irama musik, dalam keasyikan mereka berjoged ria, tiba-tiba sekelompok wanita menyeruak masuk ke dalam keramaian. Saya juga tersentak kaget. Mereka mengibar-ngibarkan dua helai kain putih seukuran handuk kecil kira-kira, ditengahnya terdapat bercak-bercak merah. Sekilas mirip bendera Jepang. Mereka berjalan mengitari kerumunan pesta. Sebagian nampak bersorak kegirangan. Lagi-lagi, irama zagrudah pun terdengar.

"Warna merah di kain itu, adalah darah perawannya", kata seorang kawan serumah. Saya kaget. Dalam tradisi Mesir, tetesan darah perawan di malam pertama, adalah sesuatu yang dinanti dan harus ada. Uniknya, yang pertama kali menyaksikan tetesan darah itu keluar dari sumbernya, bukanlah sang suami, tetapi, salah seorang wanita dari keluarga gadis pengantin. Jadi, usai akad nikah, pengantin wanita masuk kamar, bersama seorang famili wanitanya, yang membawa beberapa helai kain putih. Entah bagaimana caranya, hehehehe.. pokoknya, darah perawan itu harus menetes ke kain itu. Lalu, dari dalam kamar, sang famili wanita, melemparkan kain itu ke luar lewat jendela kamar yang terbuka. Nah, di luar sana, sekelompok wanita lain telah menanti, untuk segera menyambut kain berhiaskan darah. Lalu, kain itu dibawa dan dipamerkan ke khayalak ramai di lapangan pesta tadi.

Masih dalam tradisi mereka, dengan darah itu, semua harus tahu bahwa pengantin itu memang benar-benar masih perawan ting-ting. Kain itu disambut dengan suka cita. Gema sorak sorai dan nyanyian, dari mulut orang-orang yang sedang bergoyang, seolah menunjukkan kebanggaan tertentu. Saat saya menyaksikan ungkapan bahagia mereka di pesta pada malam itu, sejenak saya termenung. Bukan hanya karena kagum pada orang Mesir yang begitu ketat dan vulgar dalam masalah kegadisan, atau karena shock memandangi kain yang mirip bendera Jepang itu. Yang ada di pikiranku kala itu adalah sebuah pertanyaan kecil, mana yang pertama kali dilakukan mempelai pria Mesir itu saat masuk kamar pengantin. Membersihkan tetesan darah yang keluar tadi lebih dahulu, atau malah memproduksi darah baru dengan caranya sendiri. Wallahu A'lam

Read more...

Liku Perjaka Mesir




Mahalnya biaya kawin sangat memberatkan kaum lelaki Mesir. Bujang lapuk dan perawan tua menjadi fenomena. Kran poligami pun semakin melebar.

Kayaknya, aku tidak mimpi indah pada Jumat malam kemaren. Tetapi kok, Sabtu sorenya, aku kejatuhan rezeki nomplok ; seorang gadis Mesir tiba-tiba menyatakan cinta, dan bahkan minta kawin segala. Ruar biasa...

Sabtu sore itu, aku bersama seorang kawan, sedang menelusuri kawasan Old Cairo, melihat-lihat mesjid tua peninggalan dinasti Fathimiyah yang berjaya di Mesir selama rentang tahun 969-1171 M itu. Di sebuah jalan sempit, kumuh, sareukseuk, belakang Mesjid Ahmad Thulun dekat benteng Shalahudin itu, kami berpapasan dengan seorang gadis usia 15-an. Wajahnya manis, imut, hehehe dan tentu saja, tubuhnya bahenol. Dewa Amor kayaknya sedang berpihak kepada kami. Sang gadis tiba-tiba putar haluan, ikut jalan bareng, di sebelah kiriku, seraya tanya-tanya nama segala. Kayak sensus penduduk aza, pikirku.

Mula-mula, si gadis kuabaikan. Kalopun ia nanya, kujawab seperlunya. Biasa, tahan harga dikit. Tetapi, lama kelamaan, isengku muncul juga. "Anti hilwah zay 'asal", tuturku sekenanya. Kamu manis, seperti manisnya madu, begitu terjemahannya. Kontan saja, ia nerveous. Di Mesir, konon, kalimat itu memiliki 'mana' dan pesona istimewa, hehehehe...

Oh, My God, begitu kira-kira spontan ekspresinya. "Apa bener aku manis, semanis madu?", dia balik bertanya. Mulutnya ternganga, tatap mata dan senyumnya sudah mulai berubah ; agak-agak genit. "Aiwa, bal ahla minal 'asal", jurus pamungkas akhirnya kukeluarkan. Tentu saja, malah kamu lebih manis ketimbang madu, begitu makna kalimat jurus andalanku pemberian mbah dukun itu..

Wow, mata indah si gadis melotot. "Kalo gitu mah, zawwijni atuh", si gadis balik nantang. Zawwijni, nikahilah aku, begitu dia bilang. Aku juga kaget sedikit. "I love U", lanjut si gadis penuh percaya diri. Tatap matanya makin penuh makna, sambil tetap berjalan di sebelah kiriku. Sementara sang kawan di sebelah kanan, menahan tawa cekikikan. Kayaknya, dia iri dengan terangnya nasibku sore itu. Dia tidak sadar, bahwa iri adalah tanda tak mampu.

Dasar gadis Mesir, begitu pikirku kala itu. Begitu mudah bagi mereka untuk mengatakan cinta, juga perkawinan. Kayaknya, lebih mudah daripada membalikkan telapak tangan.
* * *
Oya, cerita asmara senja itu tak usah diteruskan kelanjutannya. Biar pada penasaran. Kepada pembaca, lewat pengantar itu, aku hanya ingin berbagi cerita soal tradisi bercinta dan pernikahan di kalangan para muda-mudi Mesir.

Di negeri Ratu Kleoptara ini, pergaulan ABG masih lumayan tertutup. Tradisi pergaulan bebas, pola pacaran, masih hanya terjadi pada kalangan tertentu di kota besar saja. Hanya sekian persen saja barangkali. Berbeda dengan Jakarta misalnya, atau kota-kota kecil lainnya di tanah air. Muda-mudi sedemikian bebas, pengawasan sosial juga longgar. Anak-anak SMP bau kencur pun pada punya pasangan.

Pola pergaulan muda-mudi Mesir yang relativ terbatas ini, membuat para gadis Mesir mudah GR. Ya, karena tidak biasa dengan sanjungan, pujian, apalagi rayuan gombal lelaki iseng seperti aku tadi, hehehehe..... Kecuali dalam syair lagu, puisi, film, atau alam mimpi saja. Sekali disebut 'hilwah zay 'asal saja, mereka terlena, tersepona, dan terpana....!

Kisah diatas, sebenarnya bukan yang pertama kali kualami. Dua tahun lalu, hal yang sama terjadi, kala aku mengucapkan kalimat serupa pada Heba, seorang mojang demplon asal kota Ismailiyyah, 140 km barat laut Kairo. Kala itu, kami ketemu di arena Festival Internasional Seni Rakyat (Al Mahrajan al Ismailiyyah ad Dauli lil Funun as Sya'biyyah), yang diikuti oleh 25 negara. Seperti halnya gadis tadi, Heba juga sama ; mendadak tersepona dan balik mengatakan cinta. Ujung-ujungnya, ia mengajakku menghadap orang tuanya untuk kawin...!

Lagi-lagi, kisah pertemuanku dengan Heba tak perlu kuteruskan ceritanya disini. Bukan konsumsi publik, alias off the record. Aku hanya berfikir, gadis Mesir memang begitu. Mudah mengatakan cinta, hanya karena sebuah sanjungan sederhana. Mudah GR hanya karena sanjungan dadakan. Ngga mutu, pikirku. Tapi, harap maklum, mereka semua tidak terbiasa dengan gaya-gaya rayuan gombal kayak begitu. Para jejaka Mesir jarang ada yang berani ambil resiko bergombal ria. Bukan apa-apa ; kalo sudah nempel apalagi nyrempet-nyrempet ke kawin, persoalan menjadi tidak sederhana. Tingginya biaya kawin yang harus diemban pihak lelaki, sudah bukan rahasia lagi, dan itu seolah menjadi momok yang sangat menakutkan kaum pria.

Di Mesir ini, seorang lelaki calon pengantin harus memiliki kepribadian. Rumah pribadi, mobil pribadi, dan hal-hal lain yang bener-bener milik pribadi. Jauh berbeda dengan yang sering kusaksikan dulu di kampungku, biaya nikah begitu murah meriah. Trend bujang lapuk atau perawan tua, nyaris tak terdengar. Di Mesir ini, pengantin lelaki harus menyediakan rumah yang mafrusyah (fasilitas isinya lengkap, sejak kasur, bantal hingga sabun mandi). Malu pokoknya, kalau harus tinggal di Komplek Mertua Indah. Tradisi lokal di kota Fayoum, sekitar 100 km di timur Kairo, seorang mempelai lelaki harus menyediakan uang 3 ribu Pound Mesir (500 Dolar AS), emas murni senilai 2500 Pound dan juga tentu saja, pendapatan tetap. Jangan lupa, itu belum termasuk rumah tinggal. Sementara, harga sebuah rumah yang mafrusyah di kawasan itu bisa mencapai 80 ribu Pound (13 ribu Dolar AS). Hitung sendiri, berapa rupiah itu. Di kota besar semisal Kairo, tentu biaya itu lebih tinggi. Tetapi, dalam persoalan mahar, orang Mesir, konon, tidak macam-macam ; cukup dengan peralatan shalat, atau kitab suci Al Quran.

Biaya hidup bulanan seorang isteri Mesir, nampaknya, juga sangat tinggi. Dari segi makan saja, mereka (wanita Mesir), terkenal hobi makan, porsinya banyak. Seorang gadis Mesir biasa makan seekor ayam sekaligus langsung habis. Belum cemilan-cepuluhnya. Tak heran, jika tubuh para nyonya Mesir, gendut-gendut. Hampir ngga ada yang langsing. Dalam tradisi mereka, jika sang isteri ngga gendut kaya’ Atun minimal, berarti suami ngga bisa “ngasih makan”. Isteri tidak sejahtera, jauh dari bahagia. Dan tentu saja, itu aib bagi suami.

Nah, akibat mahalnya biaya nikah ini, lelaki Mesir banyak yang lambat nikah. Bujang lapuk jadi sangat bejibun. Bertebaran di mana-mana, bak cendawan di musim hujan, hehehehee..... Biasanya, dalam suasana begini, potensi munculnya kehidupan gay juga tinggi. Amit-amit...Trend Pernikahan Dini bagi kaum lelaki, tidak populer di sini. Semuanya akibat 'harga' para wanita yang melangit itu.

Sebaliknya, angka perawan tua juga lumayan tinggi. Tahun 2001, menurut sebuah koran yang kubaca, ada 7 juta 'awanis usia 30-an tahun di negeri ini. 'Awanis adalah bentuk jamak dari anisah, yakni perempuan yang belum menikah alias masih gadis. Tuh, khan, akibat terlalu tinggi masang harga, rupanya tidak sedikit juga wanita Mesir yang tidak laku. Dari celah inilah, poligami mendapat tempat di masyarakat. Poligami semakin kokoh karena juga mendapat –tambahan - legitimasi ; sosiologis dan psikologis. Di tengah derita para bujang tak laku, seorang lelaki tua yang kaya raya, bisa dengan mulus menambah koleksi isteri, lewat institusi poligami. Ironis, sekaligus paradoks. Ibarat kata lagu Oma Irama, yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Dan sebagai reaksi, para bujang lapuk hanya bisa mendendangkan lagu lawas-nya Imam S Arifin, kau menari-nari, diatas lukaku ini......

Tradisi memahalkan biaya nikah pada mempelai lelaki, memang tidak menguntungkan kedua pihak. Pernikahan menjadi sesuatu yang sangat sulit terwujud. Buahnya, kecemburuan lelaki Mesir yang masih lajang, juga sangat tinggi. Sudah bukan rahasia lagi, bahwa lelaki Mesir cemburu berat jika ada seorang lelaki ajnabi alias orang asing yang coba-coba genit sama gadis Mesir. Ataupun sebaliknya, jika si gadis yang agressif sekalipun terhadap lelaki asing, kaum pria Mesir akan tetap iri dan marah. Mereka pikir, "boro-boro kamu yang orang asing, aku saja yang pribumi belon dapet-dapet", hehehehee.......

Begitulah, nikah usia 30 keatas akibat kelamaan 'nunggu punya uang', atau karena 'nunggu yang datang' adalah hal yang biasa di Mesir. Liku-liku kehidupan laki-laki yang tak laku-laku, adalah isu yang mudah ditemui di sini. Padahal, kalo merujuk pada cerita-cerita zaman Nabi, sepertinya tradisi nikah dengan biaya mahal ini tidak populer. Yang ada malah sebaliknya, pernikahan begitu mudah dilakukan, tanpa harus memberatkan pihak lelaki. Al Quran malah meyakinkan bahwa Allah akan mencurahkan rezeki kepada pasangan pengantin yang ikhlas dan tawakkal kepada-Nya.

Tentang mahalnya biaya nikah di Mesir ini, aku belum tahu secara pasti. Apakah itu muncul sebagai tradisi yang turun temurun sejak zaman baheula-nya, warisan Firaun, Ratu Kleopatra, Napoleon Bonaparte, ataukah malah merupakan buah sukses perjuangan para aktifis gender di Mesir dalam mengangkat hak-hak kaum wanita, semisal Qassim Amin, Huda Sya'rawi, atau yang kini masih ada seperti Nawwal Sa'dawi. Sekali lagi, aku belum bisa cerita. Tunggu saja tanggal mainnya. Insya Allah.

Bagi rekan-rekan yang punya minat tinggi terhadap studi dan perjuangan kaum perempuan, aku mengucapkan selamat berjuang. Khusus untuk someone in ....., aku ucapkan, anti hilwah zay 'asal.

Read more...

My Groups

Indonesian Muslim Blogger

Calender Countdown Of Ramadhan

  © Free Blogger Templates Nightingale by Ourblogtempla tes.com 2008

Back to TOP